Wednesday, May 18, 2011

Punguan Toga Sirait Bandung

DINAMIKA KEHIDUPAN PERATAUAN SUKU BATAK TOBA
DI KOTA BANDUNG
(Studi Kasus Perantauan Suku Batak Toba dalam Punguan Toga Sirait Boru Bere Bandung 1985-2005)


A.    Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang sejak zaman dulunya sudah menjalankan pola hidup merantau. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa suku bangsa di Indonesia yang memiliki kebiasaan keluar dari daerahnya, baik untuk menjalankan adat-istiadat maupun mengubah nasib. Seperti yang dikatakan oleh Saripudin (2005: 86) bahwa “Penduduk Indonesia sejak dulu telah sering berpindah dari daerah ke daerah lain, baik berpindah secara sendiri-sendiri maupun berkelompok.” Hal ini dilakukan semata-mata untuk mempertahankan hidupnya. Manusia selaku mahluk yang tergantung dengan terhadap apa yang tersedia disekitarnya, tentu senantiasa melakukan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Dan apabila kebutuhannya tersebut tidak terpenuhi, maka dia harus berpindah dan mencari tempat lain demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
            Perpindahan penduduk dari desa ke kota sudah menjadi hal yang biasa bagi penduduk Indonesia. Pada masa sekarang ini kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung merupakan kota yang menjadi sasaran penduduk daerah untuk mengadu nasib. Tujuan dari masyarakat Indonesia menuju kota-kota besar tersebut kebanyakan karena factor ekonomi dan sebagian karena factor pendidikan. Kota besar dianggap dapat memberikan harapan bagi setiap orang yang mengalami kesulitan di daerahnya. Perpindahan ini sering diartikan dengan istilah urbanisasi. Dalam ilmu kependudukan, urbanisasi didefenisikan sebagai  perpindahan penduduk desa ke kota. Padahal perpindahan penduduk dari desa ke kota merupakan salah satu penyebab proses urbanisasi.
            Perpindahan penduduk juga erat hubungannya dengan istilah mobilisasi. Penduduk di luar kota besar (daerah) yang melakukan perpindahan ke kota besar dapat dikatakan sebagai proses mobilisasi. Adapun pengertian menurut Saripudin (2005:59) :
Mobilitas penduduk merupakan peristiwa yang berlangsung sejak manusia menempati permukaan bumi. Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility (mobilitas penduduk). Istilah tersebut mengandung makna gerak spatial, fisisk/geografis. Mobilitas penduduk mencakup semua jenis gerak penduduk yang bersifat sementara dan tetap.
Secara umum dapat dilihat bahwa mobilisasi merupakan sebuah gerak perpindahan dari
suatu daerah ke daerah lain dengan maksud dan tujuan tertentu dari setiap individu ataupun kelompok. Di Indonesia, dilakukannya mobilisasi terutama untuk tujuan yang bersifat ekonomi. Keberadaan lapangan pekerjaan yang cukup luas, menjadi salah satu hal yang memotivasi masyarakat pedesaan untuk melakukan perpindahan ke kota.
            Perkembangan yang terjadi di perkotaan seperti pembangunan jasa-jasa, berkembangnya industri, dan fasilitas-fasilitas umum menjadi salah satu bentuk kurang seimbangnya pembangunan antara desa dan kota. Hal ini pun diungkapkan oleh Saripudin (2005:59) “Mobilitas penduduk ini pada hakekatnya merupakan suatu refleksi adanya perbedaan pertumbuhan dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara suatu daerah dengan daerah lainnya. “Dengan ketidakmerataan pembangunan ini membuat mobilitas penduduk menjadi semakin terpicu dan meningkat.
            Dibalik hal tersebut diatas terdapat alasan lain yang memotivasi suatu masyarakat melakukan mobilitas dari daerah asalnya ke daerah baru yang dianggap dapat memberikan kehidupan yang lebih layak. Keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak atau lebih baik itulah yang menjadi salah satu factor pendorong seseorang melakukan perpindahan. Begitu juga dengan keadaan masyarakat perantau dari Tanah Batak, mereka juga melakukan perantauan karena memilki tujuan untuk merubah status social dalam masyarakat agar menjadi lebih tinggi atau mencapai kehidupan yang lebih layak.      
            Adat istiadat beberapa suku bangsa Indonesia menjadi salah satu pemicu terjadinya mobilitas penduduk. Suku bangsa di Indonesia yang biasa melakukan mobilisasi atau biasa dikenal dengan merantau adalah Minangkabau, Batak, Bugis dan lain sebagainya. Saripudin (2005:87) mengemukakan bahwa :
Berdasarkan penelitian Naim (1979:289-290) yang mengambil data hasil sensus tahun 1971, intesitas migrasi diantara beberapa suku bangsa di Indonesia berbeda-beda. Diantara 12 suku bangsa utama di Indonesia yang diteliti oleh Naim, suku bangsa Minangkabau, Batak, Banjar, Bugis, Manado dan Ambon termasuk mempunyai intesitas yang tinggi. Sedangkan orang Jawa, Sunda, Madura, Bali, Aceh dan Melayu itesitasnya rendah.
                Masyarakat Batak (baik Batak Toba, Angkola, Mandailing, Karo, Simalungun dan Pak-pak) sejak zaman dahulu telah melakukan perpindahan penduduk. Perpindahan penduduk suku Batak Toba dalam hal ini sudah menjadi kebiasaan, sehingga tidak heran apabila banyak dijumpai masyarakat yang berasal dari Sumatera Utara di kota-kota besar seperti terutama Jakarta dan Bandung. Kebanyakan dari masyarakat tersebut bergelut dalam bidang perekonomian baik perdagangan maupun jasa. Selain kedua sector tersebut, banyak juga terdapat suku Batak Toba yang bekerja dalam sector perkantoran.
            Masyarakat Batak Toba melakukan mobilitas bukan hanya didorong oleh factor ekonomi saja, melainkan factor adat-istiadat pun menjadi salah satu factor pendukung utama. Kebudayaan merantau sudah menjadi suatu kebiasaan bagi masyarakat Batak Toba. Hal ini merupakan salah satu tradisi atau bagian dari adat-istiadat masyarakat Batak. Apabila menilik lebih dalam lagi perihal seberapa besar pengaruh adat tersebut, sebagai contohnya dapat kita lihat pada sistem kepemilikan tanah. Dalam system kepemilikan tanah ataupun pengelolaan lahan adat Batak kuno, ladang dan sawah untuk menanam kebutuhan pangan hanya ditanam dan dipanen setahun sekali, walaupun dibeberapa tempat ada yang melakukan panen sebanyak dua kali (Koentjaraningrat, 1971:101). Tidak hanya mengatur masa panen, tetapi adat juga mengatur sistem kerja dalam proses produksi. Menurut adat, pihak perempuan mengambil peran dalam tahap menanam, menyiangi dan menuai. Sedangkan pihak laki-laki bertugas membuka hutan, yaitu dengan cara menebang pohon-pohon, membersihkan belukar, dan membakar hutan. Selain itu, pihak laki-laki juga bertugas menyiapkan saluran-saluran irigasi, membajak dan berbagai pekerjaan yang membutuhkan tenaga yang besar. Pembatasan tugas ini menyebabkan adanya waktu luang jika masyarakat sudah melakukan tugasnya. Apalagi karena proses produksi dilakukan hanya setahun sekali, sehingga pada waktu-waktu tertentu masyarkat menganggur. Dan akhirnya masyarakat tidak mendapat pengahasilan. Pada fase kedepannya, sistem panen setahun sekali ini tidak hanya menjadi factor penghambat produksi, namun ketersedian lahan yang semakin sedikit dan tidak diimbangi laju pertumbuhan penduduk nantinya akan menjadi factor pendorong masyarakat Batak melakukan mobilisasi.
            Selain factor ekonomi dan adat-istiadat, factor pendidikan juga turut mempengaruhi proses terjadinya mobilisasi atau perantauan. Pendidikan formal menjadi suatu daya tarik terutama di Pulau Jawa karena dianggap memiliki akreditasi lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan formal di daerah. Hal ini dianggap menjadi suatu factor pendukung untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam pendidikan informal pun factor pendidikan sangat berpengaruh dimana bagi seorang anak proses merantau dianggap sebagai pembentukan kedewasaan. Masyarakat Batak yang akan merantau biasanya akan dibekali dengan upacara adat. Hal ini menjadi harapan agar si anak nantinya dapat sukses atau berhasil diperantauan dan ketika anak kembali tentunya dapat memajukan kampung halamannya.
            Hal-hal tersebutlah yang menjadi factor-faktor pendorong masyarakat Batak Toba melakukan mobilisasi ke kota-kota besar di Indonesia. Salah kota yang menjadi tujuan mobilisasi para perantauan tersebut adalah kota Bandung. Di kota Bandung banyak dijumpai orang-orang yang berasal dari suku Batak Toba. Mereka kebanyakan berasal dari daerah-daerah kecil yang berada di Sumatera Utara. Dari daerah kecil tersebut masyarakat batak dating ke Bandung demi mencari peruntungan di derah perantauan. Kota Bandung yang merupakan daerah pegunungan cukup memudahkan masyarakat batak mudah beradaptasi dengan alam karena sebagian besar wilayah Sumatera Utara yang didominasi masyarakat batak ini merupakan daerah jajaran pegunungan. Selain itu jenis tanaman-tanaman holtikultura baik sayur maupun buah-buahan juga turut mempermudah proses adaptasi dengan keadaan alam di Bandung. Hanya saja, berbicara tentang jenis makanan pokok, cita rasa makanan di Bandung yang cenderung manis-manis dan asin sangat bertolak-belakang dengan cita rasa makanan khas masyarakat batak yang bersantan dan pedas sehingga hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat batak yang pertama kali melakukan perantauan ke kota Bandung. Dalam proses adaptasi dengan lingungan, terutama berkaitan dengan budaya dan social, masyarakat batak sendiri amat menghargai keadaan kultur di kota Bandung yang tentunya didominasi oleh masyarakat Sunda. Dalam segi tutur kata ataupun bahasa, kultur bahasa masyarakat batak yang memiliki intonasi yang tinggi dan keras dalam percakapan tentunya amat berbeda dengan tutur bahasa masyarakat Sunda yang cenderung  halus dan lembut. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan sedemikian rupa dikarenakan watak masyarakat batak yang mudah bergaul menajadikan perbedaan tersebut menjadi daya tarik tersendiri sehingga kedua kelompok masyarakat tersebut tetap menghargai masing-masing kulturnya. Sekalipun terkadang akan ditemui kesulitan dalam percakapan, namun masing-masing masyarakat berbeda kultur tersebut saling menutupi kekurangan masing-masing. Masyarakat Sunda yang cenderung terbuka dengan pendatang dan juga sifatnya yang terkenal santun, diimbangi dengan kultur masyarakat batak yang cenderung keras namun tetap konsisten belajar tentunya semakin menambah keharmonisan kedua masyarakat tersebut. Namun hal ini tidak serta-merta mengakibatkan masyarakat batak melupakan tanah leluhurnya. Hal ini dapat dibuktikan sebagai contoh pada saat mereka bertemu dengan sesama perantauan batak, mereka tetap menggunakan bahasa batak sebagai bahasa pegantarnya karena dianggap lebih menambah rasa persaudaraan mereka. Mereka juga banyak mendirikan perkumpulan di kota Bandung ini. Hal ini didasari dari rasa persaudaraan yang cukup tinggi diantara masing-masing individu tersebut. Perkumpulan ini dibuat agar mereka dapat merasakan kebersamaan selaku masyarakat yang merantau di negeri orang. Selain itu, mereka senantiasa ingin melestarikan kebudayaan mereka walaupun mereka jauh dari kampung halamannya.
            Salah satu perkumpulan masyarakat Batak Toba di Bandung adalah Punguan Toga Sirait Boru Bere Bandung. Perkumpulan ini merupakan wadah kebersamaan bagi masyarakat Batak Toba terutama yang memiliki keterkaitan dengan marga Sirait. Maksudnya disini bahwa perkumpulan ini terdiri atas marga Sirait, boru Sirait (wanita yang bermarga Sirait) dan bere Sirait (keponakan dari marga Sirait atau anak dari boru Sirait). Perkumpulan (punguan) Toga Sirait Boru Bere Bandung ini bediri sejak tahun 1985 yang terdiri dari beberapa keluarga dan maupun lajang. Dalam perkumpulan ini diadakan suatu acara-acara baik secara rutin ataupun tidak rutin yang bertujuan agar rasa kecintaan terhadap kampong halamannya tetap terjaga. Selain itu perkumpulan ini menjadi suatu wadah untuk saling bahu-membahu membantu dalam menopang kehidupan di perantauan. Dalam rentang waktu dari tahun 1985 hingga tahun 2010 dapat diamati perubahan-perubahan yang terjadi bagi masyarakat Batak Toba yang tergabung dalam Punguan Toga Sirait Boru Bere Bandung, baik dalam hal ekonomi, perubahan social hingga budaya yaitu adat-istiadat yang mereka pegang. Sehingga dapat kita lihat apakah tujuan-tujuan kedatangan mereka ke Bandung benar-benar tercapai atau tidak.